Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Saya pernah membaca buku tentang sholat jamak yang dilakukan Rasulullah SAW tidak dalam berpergian, takut atau hujan. Hadits yang disampaikan, Shohih muslim, Juz 1 No. 1146, 1147 dan 1151.
Bolehkah saya mengambil hadits tersebut pada saat-saat saya sibuk atau yang saya perkirakan bakalan sibuk nantinya sehingga saya lakukan sholat jama\' tersebut?
Bagaimana menurut ustadz?
Terimakasih.
Wassalamu'alaikum Wr Wb
Jawaban
:
Assalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Memang
benar bahwa ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah
melakukan shalat jamak di Madinah, bukan karena safar, takut atau
hujan.
Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim yang teksnya sebagai berikut :Dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah SAW menjama' Shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya' di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR. Muslim)
Dari segi sanad hadits itu memang shahih. Tetapi yang jadi masalah adalah dari segi istidlal atau cara menarik kesimpulannya dari segi hukum. Sebagaimana kita tahu, bahwa keshahihan hadits adalah satu hal dan cara menarik kesimpulan hukum adalah hal yang lain.
Kalau hadits di atas disimpulkan secara serampangan bahwa kapan saja kita boleh meninggalkan shalat, toh cuma tinggal dijamak saja, maka kesimpulan ini tentu keliru, sesat dan menyesatkan.
Masak cuma gara-gara sibuk, rapat, meeting, atau alasan-alasan sederhana, lalu kita merasa boleh meninggalkan shalat atau menjamaknya, dengan alasan Rasulullah SAW menjamak shalat tanpa sebab?
Kenapa keliru dan sesat?
Ada beberapa alasan yang menyebabkan kita menyebut pemahaman ini sesat dan menyesatkan. Alasan-alasan itu antara lain adalah :
Alasan Pertama
Ciri yang mudah dikenali terkait perbedaan orang beriman dan orang munafik adalah malas mengerjakan shalat. Orang munafik itu bukan orang kafir yang memang benar-benar tidak mengerjakan shalat. Orang munafik itu kalau mengerjakan shalat, maka dikerjakanlah shalat itu dengan malas, ogah-ogahan dan menundanya hingga lewat waktunya.
Di dalam Al-Quran Allah SWT berfirman :Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat melainkan dengan malas dan tidak menafkahkan mereka, melainkan dengan rasa enggan.(QS. At-TAubah : 54)
Alasan Kedua
Shalat lima waktu juga membedakan antara seorang muslim dengan orang yang kafir. Shalat lima waktu juga merupakan bagian dari rukun Islam.
Perbedaan shalat lima waktu dengan shalat-shalat lainnya adalah bahwa shalat lima waktu adalah ibadah yang sudah ditetapkan waktunya dan pelaksanaannya amat ketat.
Shalat lima waktu berbeda dengan shalat sunnah, yang boleh dikerjakan seenaknya. Kalau lagi sibuk, shalat sunnah boleh digeser-geser pelaksanannya. Bahkan tidak shalat sunnah pun tidak mengapa, karena hukumnya sunnah.
Kalau pun shalat lima waktu mau digeser-geser jadwal pelaksanaannya, memang dibenarkan tetapi dengan alasan yang ketat dan harus dengan dalil yang shahih.
Dan dan orang yang meninggalkannya dengan sengaja tanpa udzur yang betul-betul syar'i dan didasarkan pada dalil-dalil yang qath'i, bukan hanya sekedar berdosa besar, bahkan sebagian ulama menghukumi kafir.
Alasan Ketiga
Safar, takut dan hujan adalah sebab-sebab dibolehkannya meninggalkan shalat pada waktunya dan melakukannya dengan menjamaknya. Sebab-sebab ini secara syar'i memang disebutkan secara ekpisit dan didasari oleh hadits yang shahih.
Sedangkan rapat dan kesibukan lainnya seperti yang anda sebutkan di atas, sama sekali tidak pernah disebutkan secara eksplisit di dalam hadits yang shahih. Oleh karena itu tidak benar bahwa sekedar alasan rapat kita jadi dibolehkan menjamak shalat.
Kalau memang demikian, siapa saja nanti akan merasa berhak mencari-cari alasan pribadi untuk bisa meninggalkan shalat. pada waktunya dan menggantinya dengan jamak. Cuma karena main bola lalu shalat dijamak. Cuma karena kondangan dan pesta resepsi, lalu shalat dijamak. Cuma karena macet lalu shalat dijamak.
Kalau begitu, tiap hari kita bisa asal main jamak-jamak terus, karena berdalih bahwa Rasulullah SAW pernah menjamak bukan karena safar, hujan atau takut. Dan logika ini tentu keliru dan menyesatkan sekali.
Alasan Keempat
Tentu ini pemahaman ini keliru sehingga perlu diluruskan. Cara menarik kesimpulannya juga tidak benar, karena hadits di atas tidak menyebutkan alasan meeting, rapat, sibuk bisnis, resepsi, macet dan sejenisnya sebagai hal yang membolehkan kita menjamak shalat. Tidak ada satupun dari alasan-alasan di atas yang disebutkan secara eksplisit.
Maka kalau disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menjamak shalat bukan karena alasan safar, takut atau hujan, tidak berarti lantas kita boleh menambahi sendiri daftar udzur atau alasan sesuai dengan selera kita.
Kalau cara demikian, maka yang kita lakukan sama saja dengan mengisi sendiri cek kosong dengan sekehendak hati kita.
Hadits di atas hanya menyebutkan bahwa bukan hanya safar, takut dan hujan saja yang bisa dijadikan alasan, ada peluang alasan lainnya. Tetapi alasan itu apa dan bagaimana? Tentu tidak seenak kita bikin-bikin sendiri alasan itu.
Daftar Penyebab Dibolehkannya Jamak
Para ulama dalam banyak kita mereka telah merumuskan beberapa penyebab dibolehkannya shalat jama', antara lain :
1. Safar
2. Haji
3. Sakit
4. Hujan
5. Kejadian Luar Biasa
Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim yang teksnya sebagai berikut :Dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah SAW menjama' Shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya' di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR. Muslim)
Dari segi sanad hadits itu memang shahih. Tetapi yang jadi masalah adalah dari segi istidlal atau cara menarik kesimpulannya dari segi hukum. Sebagaimana kita tahu, bahwa keshahihan hadits adalah satu hal dan cara menarik kesimpulan hukum adalah hal yang lain.
Kalau hadits di atas disimpulkan secara serampangan bahwa kapan saja kita boleh meninggalkan shalat, toh cuma tinggal dijamak saja, maka kesimpulan ini tentu keliru, sesat dan menyesatkan.
Masak cuma gara-gara sibuk, rapat, meeting, atau alasan-alasan sederhana, lalu kita merasa boleh meninggalkan shalat atau menjamaknya, dengan alasan Rasulullah SAW menjamak shalat tanpa sebab?
Kenapa keliru dan sesat?
Ada beberapa alasan yang menyebabkan kita menyebut pemahaman ini sesat dan menyesatkan. Alasan-alasan itu antara lain adalah :
Alasan Pertama
Ciri yang mudah dikenali terkait perbedaan orang beriman dan orang munafik adalah malas mengerjakan shalat. Orang munafik itu bukan orang kafir yang memang benar-benar tidak mengerjakan shalat. Orang munafik itu kalau mengerjakan shalat, maka dikerjakanlah shalat itu dengan malas, ogah-ogahan dan menundanya hingga lewat waktunya.
Di dalam Al-Quran Allah SWT berfirman :Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat melainkan dengan malas dan tidak menafkahkan mereka, melainkan dengan rasa enggan.(QS. At-TAubah : 54)
Alasan Kedua
Shalat lima waktu juga membedakan antara seorang muslim dengan orang yang kafir. Shalat lima waktu juga merupakan bagian dari rukun Islam.
Perbedaan shalat lima waktu dengan shalat-shalat lainnya adalah bahwa shalat lima waktu adalah ibadah yang sudah ditetapkan waktunya dan pelaksanaannya amat ketat.
Shalat lima waktu berbeda dengan shalat sunnah, yang boleh dikerjakan seenaknya. Kalau lagi sibuk, shalat sunnah boleh digeser-geser pelaksanannya. Bahkan tidak shalat sunnah pun tidak mengapa, karena hukumnya sunnah.
Kalau pun shalat lima waktu mau digeser-geser jadwal pelaksanaannya, memang dibenarkan tetapi dengan alasan yang ketat dan harus dengan dalil yang shahih.
Dan dan orang yang meninggalkannya dengan sengaja tanpa udzur yang betul-betul syar'i dan didasarkan pada dalil-dalil yang qath'i, bukan hanya sekedar berdosa besar, bahkan sebagian ulama menghukumi kafir.
Alasan Ketiga
Safar, takut dan hujan adalah sebab-sebab dibolehkannya meninggalkan shalat pada waktunya dan melakukannya dengan menjamaknya. Sebab-sebab ini secara syar'i memang disebutkan secara ekpisit dan didasari oleh hadits yang shahih.
Sedangkan rapat dan kesibukan lainnya seperti yang anda sebutkan di atas, sama sekali tidak pernah disebutkan secara eksplisit di dalam hadits yang shahih. Oleh karena itu tidak benar bahwa sekedar alasan rapat kita jadi dibolehkan menjamak shalat.
Kalau memang demikian, siapa saja nanti akan merasa berhak mencari-cari alasan pribadi untuk bisa meninggalkan shalat. pada waktunya dan menggantinya dengan jamak. Cuma karena main bola lalu shalat dijamak. Cuma karena kondangan dan pesta resepsi, lalu shalat dijamak. Cuma karena macet lalu shalat dijamak.
Kalau begitu, tiap hari kita bisa asal main jamak-jamak terus, karena berdalih bahwa Rasulullah SAW pernah menjamak bukan karena safar, hujan atau takut. Dan logika ini tentu keliru dan menyesatkan sekali.
Alasan Keempat
Tentu ini pemahaman ini keliru sehingga perlu diluruskan. Cara menarik kesimpulannya juga tidak benar, karena hadits di atas tidak menyebutkan alasan meeting, rapat, sibuk bisnis, resepsi, macet dan sejenisnya sebagai hal yang membolehkan kita menjamak shalat. Tidak ada satupun dari alasan-alasan di atas yang disebutkan secara eksplisit.
Maka kalau disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menjamak shalat bukan karena alasan safar, takut atau hujan, tidak berarti lantas kita boleh menambahi sendiri daftar udzur atau alasan sesuai dengan selera kita.
Kalau cara demikian, maka yang kita lakukan sama saja dengan mengisi sendiri cek kosong dengan sekehendak hati kita.
Hadits di atas hanya menyebutkan bahwa bukan hanya safar, takut dan hujan saja yang bisa dijadikan alasan, ada peluang alasan lainnya. Tetapi alasan itu apa dan bagaimana? Tentu tidak seenak kita bikin-bikin sendiri alasan itu.
Daftar Penyebab Dibolehkannya Jamak
Para ulama dalam banyak kita mereka telah merumuskan beberapa penyebab dibolehkannya shalat jama', antara lain :
1. Safar
2. Haji
3. Sakit
4. Hujan
5. Kejadian Luar Biasa
Namun
shalat jama' karena terjadi di luar hal-hal yang tidak mampu
diantisipasi tidak boleh dilakukan kecuali dengan syarat
a.
Terjadi Secara Insidental
Seseorang
tidak boleh merencanakan untuk menjama' shalat dengan alasan terjadi
sesuatu yang tidak bisa dihindari kecuali dengan menjama', namun
dilakukannya secara terencana.
Kejadiannya
harus bersifat di luar perhitungan dan terjadi tiba-tiba begitu saja.
Seperti yang terjadi pada diri Rasulullah SAW tatkala terlewat dari
shalat Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya sekaligus, gara-gara ada
serangan atau kepungan musuh dalam perang Azhab (perang Khandaq).
Beliau
saat itu menjama' shalat yang tertinggal setelah lewat tengah malam,
bukan ketika perjalanan, sebab beliau SAW dan para shahabat bertahan
di dalam kota Madinah Al-Manuwwarah.
Namun
kejadian itu boleh dibilang hanya sesekali saja, bukan sesuatu yang
bersifat rutin. Dan tentu saja tidak pernah direncanakan terlebih
dahulu.
b.
Kejadiannya Bersifat Memaksa
Syarat
kedua adalah bersifat memaksa, yang tidak ada alternatif lain kecuali
harus menjama'. Sifat memaksa disini bukan disebabkan karena
kepentingan biasa, misalnya sekedar karena ada rapat, atau pesta
pernikahan, atau kemacetan rutin yang melanda kota-kota besar.
Sebab
rapat itu hanya buatan manusia, demikian juga pesta pernikahan atau
kemacetan rutin. Semua tidak termasuk hal yang bersifat memaksa yang
membolehkan orang menjama' shalat.
Yang
bisa dikategorikan memaksa misalnya kejadian force majeure, yang
dalam Bahasa Indonesia sebagian orang mengartikannya sebagai kejadian
luar biasa (KLB). termasuk di dalamnya adalah kejadian–kejadian
seperti perang, demo anarkis, huru-hara, bencana alam, kecelakaan,
banjir bandang, topan badai dan sejenisnya.
Demonstrasi
atau unjuk raja yang tertib dan dilakukan beberapa gelintir orang
secara yang damai, bukan termasuk force majeure. Demikian juga banjir
dan air menggenang yang sudah jadi langganan penduduk ibukota, tidak
termasuk di dalamnya.
Tsunami
di Aceh dan Mentawai, banjir bandang di Wasior Papua, gampa di Padang
dan Yogya, erupsi Gunung Merapi di Jogja Jawa Tengah, serta terjebak
di tengah kerusuhan massal tahun 1998 adalah contoh-contoh yang bisa
dijadikan bahan perbandingan dari force majeur.
Wallahu
a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh, Ahmad
Sarwat, Lc., MA